Profile : Erwin Selian

Sabtu, 31 Desember 2011

Aku Bisa Mengerti, Kenapa Bulan Terlihat Sedih

Dulu, sekali waktu aku bertemu dia di lampu merah perempatan jalan yang ramai, di malam yang dingin seusai hujan pada bulan Desember. Sejak itu aku mengenalnya tanpa aku pernah tahu siapa namanya. Layaknya Shakespeare, dia selalu berkata apalah arti sebuah nama, setiap kali kutanyakan itu. Menurutnya, untuk orang seperti dia,  yang hidup di kelamnya malam, nama tidaklah begitu perlu. Yang penting seberapa kuat dia bisa terus berjalan di antara genangan air selokan yang meluap. Seberapa mampu dia bisa menelan kepahitan hidup ini agar berkurang rasa lapar. Untuk itu aku tak harus membantah, karena aku bisa saja menamainya kemelaratan, kemiskinan, penderitaan atau sejenisnya.

Untuk orang yang sering bersinggungan dengan kesinisan hidup ini, mungkin aku boleh saja punya  pendapat seperti itu. Ia benar-benar dalam lingkaran, ibarat seorang -menurut sebuah kepercayaan rakyat- berjalan di hutan dan terinjak akar mimang: ia berputar-putar terus di rimba itu, tak kunjung menemukan jalan lepas. Siapa yang perduli dengan semua itu. Tak juga ada seorang pun yang berusaha memberi semangat. ”Bertahanlah, nasib akan berubah.”

Melihatmu, seperti menyaksikan film dokumenter tua yang terpotong-potong, dimana sekelompok orang tak masuk hitungan berkeliaran di trotoar rumah makanan siap saji, mengharap recehan. Terkadang mereka berpikir semua itu hanyalah mimpi. Tapi begitulah, setiap kali mereka mencubit lengannya, setiap kali terasa sakit. Hidup memang nyata.

Pernah sekali dia bercerita padaku,”kau tahu kenapa bulan selalu terlihat sedih?” Aku hanya menggeleng. Kemudian dia melanjutkan,”dahulu di alam langit bulan memiliki seorang kekasih. Lalu nasib menipu sang kekasih, angin jahat membisikkan pesan ke telinganya, bahwa bulan menginginkan bunga anggrek. Turunlah sang kekasih ke bumi yang fana untuk memetiknya. Ternyata siapapun yang turun ke dunia ini tidak lagi bisa kembali ke langit. Pada akhirnya sang kekasih berubah menjadi serigala, dan hanya bisa melolong, memanggil-manggil bulan kala purnama tanpa bisa berbuat apa-apa. Bulan pun hanya bisa bersedih mendengarnya.

Aku sering berpikir, apa arti cerita itu buatnya. Mungkin ia tahu, begitulah kemiskinan dan kemelaratan memperlakukannya, ibarat serigala yang tidak bisa melawan nasib. Tapi apakah dia tahu, sering para pejabat mendiskusikan program pengentasan kemiskinan dari ruangan megah dan ber-ac, dengan nilai biaya yang besar,  suatu jumlah yang tidak terbayangkan olehnya. Tapi apakah dia tahu ada seorang profesor sedang mendefinisikan ulang arti dibawah garis-kemiskinan di depan para mahasiswa yang mangut-mangut. Atau tahukah dia, ada orang seperti aku yang menulis di halaman blog, seolah-olah paling mengerti dan paling berpihak pada orang-orang seperti dia.

Ya begitulah, ketika sekali waktu dia terkapar di bawah lampu merah di perempatan jalan yang ramai, sementara aku hanya bisa melihat dari ambang jendela lantai lima sebuah gedung, tanpa berbuat apa-apa. Mungkin aku hanya sedikit bedoa, semoga dia baik-baik saja. Tidak sepanjang doa Iwan Fals untuknya,” Tuhan, rangkullah, jangan kau tinggalkan... pergilah derita ini hari, berilah tawa yang terkeras untuk obat di tangis lalu, limpahkan senang paling indah agar luka tak nyeri, agar duka tak menari…

Ya begitulah, di malam akhir tahun ini ketika aku melihat langit, setidaknya aku bisa mengerti, kenapa bulan terlihat sedih...



Erwin Selian

0 Komentar di Blogger
Silahkan Berkomentar Melalui Akun Facebook Anda
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda

0 Responses to “Aku Bisa Mengerti, Kenapa Bulan Terlihat Sedih”

Posting Komentar

All Rights Reserved Wienjourney | Blogger Template by Bloggermint