Profile : Erwin Selian

Jumat, 27 Juni 2014

MEMBELI KURSI PRESIDEN - Harga tidak pernah bohong?

Harga tidak pernah bohong, demikian kalimat salah satu iklan sepatu kelas atas yang pernah saya lihat beberapa waktu lalu. Mungkin ini menggambarkan mutu dari benda tersebut. Harga yang mahal berarti produknya sangat berkualitas. Proses awal pembuatan produk hingga sampai ke tangan kita membutuhkan biaya yang tidak sedikit, maka harga yang kita bayarkan juga relatif besar.


Bila kita bicara demokrasi, apakah rumusan itu juga berlaku? Demokrasi memang mahal. Semua orang tahu, kegiatan demokrasi, disemua tingkatannya, membutuhkan biaya. Pada genre tertentu demokrasi itu menjadi sangat mahal. Untuk melaksanakan kegiatan pemilihan presiden misalnya, biaya yang dihabiskan bisa sangat besar. Berapa pastinya biaya yang harus dikeluarkan seorang kandidat presiden? Mungkin tidak ada yang tahu secara tepat, selain sang calon itu sendiri.

Toto Izul Fatah, peneliti senior Lingkaran Survey Indonesia memperkirakan secara kasar, seorang calon presiden harus menyediakan dana diatas 1 triliun rupiah untuk bersaing dalam pesta demokrasi lima tahunan itu. Lebih lanjut katanya, “Kalau dengan bekal 1 triliun rupiah untuk capres rasanya keteter juga, sebab dia misalnya harus membayar partai, bayar saksi, tim sukses dan mungkin juga alokasi untuk tim profesional seperti konsultan”.

“Untuk waktu sejak tahapan resmi KPU dimulai, seorang calon bisa menghabiskan dana mencapai 500 miliar rupiah,” kata Indra J Piliang, Ketua Balitbang Partai Golkar. Kegiatan selanjutnya bisa mencapai triliunan, seperti membiayai perjalanan sosialisasi, relawan, logistik partai, pertemuan dengan ormas, saksi, survey dan iklan.

Untuk sekali survey saja lembaga konsultan politik biasanya mematok biaya mencapai 300 juta rupiah. Dalam setahun biasanya calon presiden melakukan tiga kali survey.

Biaya sosialisasi terbesar terserap untuk iklan, baik media cetak maupun media eketronik. Pada tahap pertama yakni untuk pengenalan calon bisa mencapai 200-500 miliar rupiah. Nilai tersebut belum mencakup keperluan untuk membuat seorang calon disukai calon pemilih. Untuk meningkatkan elektabilitas di tahap ini, juga harus dibuat berbagai kemasan program atau pencitraan seorang calon. Di luar itu, masih ada tahap membangun kesan bahwa seorang calon mempunya kapasitas dan kualitas, yang juga menelan biaya. Tahap berikutnya adalah upaya upgrading dan downgrading, yakni mengangkat citra calon dengan cara menjatuhkan kompetitor yang lebih sering diterjemahkan kampanye hitam atau kampanye negatif.

Sebelumnya, seorang pengamat ekonomi politik seperti dikutip situs Forbes pada tanggal 20 November tahun lalu memprediksi, bahwa setiap calon presiden di Indonesia minimal harus menyiapkan dana 600 juta US dollar atau sekitar 7 triliun rupiah. Asumsinya, seorang calon presiden minimal harus memperoleh 70 juta suara untuk terpilih. Jika biaya yang diperlukan untuk meraih satu suara 100.000 rupiah, maka total yang harus dikeluarkan pasangan calon kurang lebih 7 triliun rupiah. Demikianlah adanya biaya yang harus dikucurkan seorang calon presiden dalam pemilihan presiden, sebagai salah satu subordinasi dari demokrasi.

Bila kita mengulang ke belakang, demokrasi yang asal katanya adalah “demokratia” yang berarti kekuasaan rakyat. Kata ini merupakan anonim dari kata “aristocratie”, yang berarti kekuasaan elit. Secara teoritis kedua kata ini saling bertentangan, namun pada kenyataannya sangat sulit dibedakan. Karena persepsi yang terbentuk di masyarakat, kaum elit adalah kaum yang punya uang.

Abraham Lincoln mendefinisikan demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Mungkin bila Lincoln masih hidup pada hari ini, ia akan mengkoreksi kata “oleh rakyat” menjadi “oleh elit”. Rakyat adalah pasarnya dan sang calon pedagangnya. Harga tidak pernah bohong. Bila itu berarti kualitas, apakah slogan itu juga berlaku untuk seorang calon presiden?

Demokrasi memang mahal. Kini kita bisa mengerti kenapa dulu saat berkunjung ke daerah pelosok, Suharto tersenyum ketika menanyakan cita-cita seorang anak dan sang anak menjawab,”...ingin jadi presiden”.

(Erwin Selian - 2014)

0 Komentar di Blogger
Silahkan Berkomentar Melalui Akun Facebook Anda
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda

0 Responses to “MEMBELI KURSI PRESIDEN - Harga tidak pernah bohong?”

Posting Komentar

All Rights Reserved Wienjourney | Blogger Template by Bloggermint