Kamis, 26 Juni 2014
Demokrasi di Serambi Mekah
Do you like this story?

Pada suatu saat, setelah bertahun-tahun perang tak selesai, Thersites mendamprat Raja Agamemnon. ”Agamemnon,” teriaknya dengan suara melengking, ”sekarang apa yang membuat diri tuan tak terpuaskan, apa lagi yang tuan inginkan? Tenda tuan penuh dengan logam berharga dan perempuan jelita, sebab tiap kali kami taklukkan kota kami persembahkan jarahan itu kepada tuan.” Thersites tampaknya adalah suara yang lelah perang, yang merasa bahwa orang bawahan macam dia hanya menanggungkan rasa sakit. Maka serunya pula kepada sang raja: ”Tuan tak berbuat baik, dengan membiarkan bangsa Achaea yang tuan perintah jadi sengsara.”
Ketika Agamemnon tak menyahut, Thersites pun berseru kepada sejawatnya: ”Marilah kita berlayar pulang, dan tinggalkan orang ini di Troya”. Mendengar itu, salah seorang sekutu Agamemnon, Odysseus, mendatanginya. Raja Ithaca ini marah. ”Jaga mulutmu, Thersites! Jangan kau ngoceh lebih jauh. Jangan kau cerca para pangeran bila tak ada yang mendukungmu…” Dan Odysseus pun memukulkan tongkat keemasannya ke punggung Thersites. Laki-laki itu tersungkur, bengkak dan berdarah. Tapi orang-orang tak menolong Thersites; mereka malah menertawakannya ketika si mulut tajam itu menangis kesakitan…

Pada mulanya, kata demos memang mengacu ke ”mereka yang tak berpunya”. Rakyat, atau demos, dengan demikian bukanlah himpunan tertentu satu kelompok penduduk. Rakyat adalah pelengkap penyerta justru dalam arti mereka tak bisa serta. Rakyat adalah siapa saja yang jadi bagian yang tak masuk bagian, himpunan yang tak masuk hitungan, le compte des incomptés. Ada yang paradoksal di sini: di satu pihak, rakyat melengkapi bangunan kekuasaan; di lain pihak, rakyat ada di luarnya. Dalam paradoks itulah sebagai pelengkap, mereka yang tak masuk hitungan itu dibutuhkan. Tapi ketegangan terjadi ketika pada saat yang sama mereka ditampik dan pemisahan ditegakkan, ketika kekuasaan yang ada menentukan mana yang bisa didengar (atau dilihat) dan mana yang tidak.

Di bumi Aceh ini, kita tak harus memukul punggung seorang Thersites, atau seorang Rabusin, atau seorang Daud bila tak mau serta dalam arus kekuasaan yang tak logika, tak sejalan, tak sepaham. Sebab demokrasi adalah keniscayaan, pengejawantahan bhineka tunggal ika, sekecil apapun, selemah apapun. Semoga.
(Erwin Selian, 2014)
POLITICS
- MEMBELI KURSI PRESIDEN - Harga tidak pernah bohong?
- ARMEN DESKY - Wujud Kekuasaan Yang Merisaukan
- PRABOWO, THE CANDIDATE – Siapa yang membual?
- Integritas Politik Dan Ekonomi Di Aceh – Refleksi Akhir Tahun 2011
- Aceh Tenggara - Hustle and bustle of Local Elections in 2007
- Hasanuddin B – Say Bravo To Godfather
- RAIDIN PINIM – Perubahan, Kata John Lennon

This article is published by : Erwin Selian
Erwin Selian is Indonesian bloggers, sharing perceptions about the political, social and cultural. Please leave a comment for this article. Follow him on Wienjourney Facebook
0 Komentar di Blogger
Langganan:
Posting Komentar (Atom)